CELOTEHMUDA.COM — Dunia tengah memasuki fase baru di mana kecerdasan buatan (AI) tak lagi sekadar alat bantu, tetapi menjadi bagian integral dari ekosistem hidup manusia.
Baca Juga : Lulusan SD, Tukang Sampah Ini Temukan Cara Sulap Plastik Jadi BBM Murah
Periode 2025 hingga 2029 diprediksi akan menjadi fase krusial dalam transformasi sosial, ekonomi, dan teknologi yang dipacu oleh AI.
Tahun ini menjadi fondasi revolusi AI modern. Tools seperti Devin (AI software engineer), AutoGPT, dan berbagai agen AI lainnya mulai merambah ke sektor bisnis dan produktivitas sehari-hari.
Kemudahan akses terhadap AI menciptakan ledakan startup baru yang berbasis kecerdasan buatan.
Di sisi lain, model AI open-source menunjukkan perkembangan pesat, membuat banyak perusahaan kecil beralih dari model komersial seperti OpenAI ke alternatif yang lebih fleksibel dan hemat biaya.
Baca Juga : Rekening Terkuras Saat Mudik? Kenali Modus Phishing yang Mengintai Anda
Masyarakat pun mulai menyadari pentingnya literasi AI. Workshop, sertifikasi, dan pelatihan AI menjadi tren baru dalam pengembangan keterampilan kerja masa depan.
Namun, gelombang adaptasi ini tidak lepas dari kontroversi: kalangan seniman, penulis, dan kreator konten mengangkat isu hak cipta dan plagiarisme, memunculkan debat moral seputar penggunaan AI dalam seni dan budaya.
AI mulai menyentuh hampir semua lini industri dari hukum, keuangan, kesehatan, hingga pendidikan. Peran manusia dalam pekerjaan-pekerjaan dasar digantikan oleh sistem otomatisasi cerdas.
Fenomena ini melahirkan kesenjangan baru: mereka yang menguasai AI naik kelas, sementara yang gagap teknologi makin tertinggal.
Revolusi “no-code” mempercepat disrupsi. Banyak proses kreatif dan teknis seperti desain, editing video, hingga pemasaran bisa dilakukan sepenuhnya oleh AI, dengan manusia hanya sebagai pengarah atau kurator.
Baca Juga : Meta Soroti Isu Pembatasan Akses Media Sosial oleh Komdigi
Di level geopolitik, rivalitas antara China dan Amerika Serikat dalam pengembangan AI semakin memanas, menjadikan dunia terbagi antara blok AI Timur dan Barat.
Tahun ini diperkirakan akan menjadi titik balik besar dalam pengembangan AI. Munculnya self-learning AI model yang mampu mengembangkan dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia mengubah paradigma riset dan pengembangan teknologi.
AI tidak lagi hanya sebagai asisten, tapi juga peneliti. Banyak institusi riset mengganti posisi peneliti manusia menjadi supervisor AI.
Di sisi lain, ancaman disinformasi berbasis AI mencapai level baru. Deepfake dalam bentuk video, suara, dan teks makin sulit dibedakan dari kenyataan.
Regulasi mulai dibentuk. Pemerintah memperkenalkan sistem lisensi atau “SIM AI” untuk penggunaan komersial, sebagai respons terhadap potensi dampak sosial dan ekonomi dari AI yang tidak terkendali.
Editor : Salman Alfarisi