Oleh : Muh.Nur
Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 menghadirkan tantangan kompleks, khususnya terkait penentuan jadwal pelantikan kepala daerah terpilih. Tarik ulur keputusan ini dipicu oleh sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dinamika lainnya yang menyebabkan perdebatan apakah pelantikan dilaksanakan sesuai jadwal awal pada Februari 2025 atau menunggu seluruh sengketa tuntas. Hal ini memunculkan pertimbangan antara kepastian hukum, stabilitas pemerintahan, dan kepentingan publik yang harus diseimbangkan.
Konteks Pelantikan dan Regulasi yang Berlaku
Sesuai Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024, penetapan pasangan calon terpilih dilakukan setelah MK menerbitkan Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dari 545 daerah yang menggelar Pilkada, 310 perkara sengketa didaftarkan di MK, termasuk 23 sengketa gubernur dan 287 sengketa di tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2024, pelantikan gubernur terjadwal pada 7 Februari 2025, dan pelantikan bupati/wali kota pada 10 Februari 2025. Namun, Pasal 22A membuka kemungkinan pelantikan melewati tanggal tersebut dengan alasan putusan MK atau keadaan luar biasa (force majeure).
Perspektif Penundaan Pelantikan
Penundaan pelantikan seluruh kepala daerah hingga seluruh sengketa selesai dianggap memberikan kepastian hukum dan menghindari pelantikan yang berpotensi digugat. Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengusulkan pelantikan dilakukan setelah putusan final MK, yang diperkirakan selesai pada 12 Maret 2025. Pendekatan ini memprioritaskan integritas proses demokrasi dan mencegah implikasi hukum yang dapat merusak stabilitas pemerintahan daerah.
Namun, opsi ini menghadapi tantangan praktis dan politik. Lebih dari 200 kepala daerah terpilih tanpa sengketa akan dirugikan jika harus menunggu hingga sengketa di daerah lain selesai. Penjabat kepala daerah yang masa tugasnya diperpanjang dapat menghadapi keterbatasan kewenangan dalam membuat kebijakan strategis, yang dapat mengganggu pelayanan publik dan stabilitas pemerintahan.
Pandangan untuk Pelantikan Bertahap
Beberapa pihak, seperti anggota DPR Rahmat Saleh, mendorong pelantikan kepala daerah yang tidak bersengketa sesuai jadwal, sementara pelantikan bagi daerah yang bersengketa mengikuti putusan MK. Pendekatan ini berlandaskan asas manfaat dan efisiensi, dengan menghormati hak-hak daerah yang tidak terlibat dalam sengketa. Selain menghindari kekosongan jabatan, langkah ini juga memungkinkan kepala daerah terpilih segera merealisasikan janji politik yang dinantikan masyarakat.
Namun demikian, skema pelantikan bertahap berpotensi menciptakan kesenjangan antar daerah. Perbedaan waktu pelantikan dapat memengaruhi stabilitas politik di daerah yang bersengketa, terutama jika putusan MK memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) yang memakan waktu lebih lama.
Kasus Kemenangan Kotak Kosong
Salah satu faktor yang menambah kerumitan pelantikan serentak adalah kemenangan kotak kosong di beberapa daerah. Pada Pilkada 2024, dua daerah mengalami situasi unik di mana pasangan calon tunggal dikalahkan oleh pilihan kotak kosong, sehingga proses pemilihan harus diulang sesuai regulasi yang berlaku. Kejadian ini menambah jumlah daerah yang tidak dapat mengikuti pelantikan pada jadwal awal, mengingat penjadwalan ulang pemilihan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Kemenangan kotak kosong memperlihatkan tantangan tambahan yang mempersulit pelantikan serentak secara ideal di seluruh Indonesia.
Baca Juga : Pemerintah Pusat dan Keberpihakannya pada Ketahanan Pangan Sulsel
Opsi Pelantikan: Kepastian Hukum dan Stabilitas Pemerintahan
DPR melalui Komisi II menawarkan dua opsi terkait pelantikan kepala daerah:
- Pelantikan Seluruh Kepala Daerah Setelah Putusan MK
Opsi ini mengutamakan pelantikan setelah semua sengketa hukum tuntas. Putusan MK terkait sengketa Pilkada diperkirakan rampung pada Maret 2025, sehingga seluruh pelantikan dilakukan serentak berdasarkan Peraturan Presiden yang baru. Pendekatan ini memberikan kepastian hukum, menghindari pelantikan yang berpotensi dibatalkan, dan memastikan integritas hasil pemilu. - Pelantikan Bertahap
Opsi kedua memungkinkan pelantikan kepala daerah yang tidak bersengketa pada jadwal awal, sementara pelantikan bagi daerah yang masih menghadapi sengketa dilakukan setelah putusan MK. Pendekatan ini menghormati hak politik daerah yang tidak bermasalah, mencegah kekosongan jabatan, dan memastikan pemerintahan segera berjalan. Namun, opsi ini memerlukan koordinasi ketat untuk mencegah potensi kesenjangan dan perbedaan legitimasi antara daerah yang dilantik lebih awal dan yang menunggu keputusan MK.
Analisis dan Implikasi Dilema pelantikan
mencerminkan tantangan antara kepastian hukum dan kebutuhan pemerintahan yang efektif. Pelantikan bertahap akan memberikan solusi praktis, tetapi dapat menimbulkan ketidakmerataan stabilitas politik. Sebaliknya, menunggu seluruh sengketa selesai dapat mengorbankan efisiensi pelayanan publik dan memperpanjang masa penjabat kepala daerah, yang terbatas kewenangannya dalam membuat kebijakan strategis.
Keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan stabilitas pemerintahan adalah kunci dalam menyelesaikan polemik ini untuk menjaga kualitas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
( Editor : Salman )